http://atifhidayat.wordpress.com/2009/03/10/syekh-siti-jenar/ (juga dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, dan Lemah Abang)
adalah seorang tokoh yang dianggap Sufi dan juga salah satu penyebar
agama Islam di Pulau Jawa. Tidak ada yang mengetahui secara pasti
asal-usulnya. Di masyarakat terdapat banyak varian cerita mengenai
asal-usul Syekh Siti Jenar.
Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya yang
terkenal, yaitu Manunggaling Kawula Gusti. Akan tetapi sebagian yang
lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah
intelektual yang sudah mendapatkan esensi Islam itu sendiri. Ajaran –
ajarannya tertuang dalam pupuh, yaitu karya sastra yang dibuatnya.
Meskipun demikian, ajaran yang sangat mulia dari Syekh Siti Jenar adalah
budi pekerti.
Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang dinilai bertentangan dengan ajaran Walisongo. Pertentangan praktek sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo.
a. Konsep dan Ajaran
Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial terkait dengan
konsepnya tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat
berlakunya syariat tersebut. Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan
manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya, yaitu apa
yang disebut umum sebagai kematian justru disebut sebagai awal dari
kehidupan yang hakiki dan abadi.
Konsekuensinya, ia tidak dapat dikenai hukum yang bersifat
keduniawian (hukum negara dan lainnnya), tidak termasuk didalamnya hukum
syariat peribadatan sebagaimana ketentuan syariah. Dan menurut ulama
pada masa itu yang memahami inti ajaran Siti Jenar bahwa manusia di
dunia ini tidak harus memenuhi rukun Islam yang lima, yaitu: syahadat,
shalat, puasa, zakat dan haji. Baginya, syariah itu baru berlaku sesudah
manusia menjalani kehidupan paska kematian. Syekh Siti Jenar juga
berpendapat bahwa Allah itu ada dalam dirinya, yaitu di dalam budi.
Pemahaman inilah yang dipropagandakan oleh para ulama pada masa itu.
Mirip dengan konsep Al-Hallaj (tokoh sufi Islam yang dihukum mati pada
awal sejarah perkembangan Islam sekitar abad ke-9 Masehi) tentang Hulul
yang berkaitan dengan kesamaan sifat manusia dan Tuhan. Dimana Pemahaman
ketauhidan harus dilewati melalui 4 tahapan ; 1. Syariat (dengan
menjalankan hukum-hukum agama spt sholat, zakat dll); 2. Tarekat, dengan
melakukan amalan-amalan spt wirid, dzikir dalam waktu dan hitungan
tertentu; 3. Hakekat, dimana hakekat dari manusia dan kesejatian hidup
akan ditemukan; dan 4. Ma’rifat, kecintaan kepada Allah dengan makna
seluas-luasnya. Bukan berarti bahwa setelah memasuki tahapan-tahapan
tersebut maka tahapan dibawahnya ditiadakan. Pemahaman inilah yang
kurang bisa dimengerti oleh para ulama pada masa itu tentang ilmu
tasawuf yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar. Ilmu yang baru bisa
dipahami setelah melewati ratusan tahun pasca wafatnya sang Syekh. Para
ulama mengkhawatirkan adanya kesalahpahaman dalam menerima ajaran yang
disampaikan oleh Syekh Siti Jenar kepada masyarakat awam dimana pada
masa itu ajaran Islam yang harus disampaikan adalah pada tingkatan
‘syariat’. Sedangkan ajaran Siti Jenar sudah memasuki tahap ‘hakekat’
dan bahkan ‘ma’rifat’kepada Allah (kecintaan dan pengetahuan yang
mendalam kepada ALLAH). Oleh karenanya, ajaran yang disampaikan oleh
Siti Jenar hanya dapat dibendung dengan kata ‘SESAT’.
Dalam pupuhnya, Syekh Siti Jenar merasa malu apabila harus berdebat
masalah agama. Alasannya sederhana, yaitu dalam agama apapun, setiap
pemeluk sebenarnya menyembah zat Yang Maha Kuasa. Hanya saja masing –
masing menyembah dengan menyebut nama yang berbeda – beda dan
menjalankan ajaran dengan cara yang belum tentu sama. Oleh karena itu,
masing – masing pemeluk tidak perlu saling berdebat untuk mendapat
pengakuan bahwa agamanya yang paling benar.
Syekh Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih
mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan ibadah. Orang yang
beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala berarti belum bisa
disebut ikhlas.
b.Manunggaling Kawula Gusti
Dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Manunggaling Kawula Gusti
dianggap bukan berarti bercampurnya Tuhan dengan Makhluknya, melainkan
bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk. Dan dengan
kembali kepada Tuhannya, manusia telah menjadi sangat dekat dengan
Tuhannya.
Dan dalam ajarannya, ‘Manunggaling Kawula Gusti’ adalah bahwa di
dalam diri manusia terdapat ruh yang berasal dari ruh Tuhan sesuai
dengan ayat Al Qur’an yang menerangkan tentang penciptaan manusia
(“Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku akan
menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan
kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh Ku; maka hendaklah kamu
tersungkur dengan bersujud kepadanya (Shaad; 71-72)”)>. Dengan
demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan dikala penyembahan
terhadap Tuhan terjadi.
Perbedaan penafsiran ayat Al Qur’an dari para murid Syekh Siti inilah
yang menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam ruh
Tuhan, yaitu polemik paham ‘Manunggaling Kawula Gusti’.
c. Pengertian Zadhab
Dalam kondisi manusia modern seperti saat ini sering temui manusia
yang mengalami hal ini terutama dalam agama Islam yang sering disebut
zadhab atau kegilaan berlebihan terhadap Illa yang maha Agung atau
Allah.
Mereka belajar tentang bagaimana Allah bekerja, sehingga ketika
keinginannya sudah lebur terhadap kehendak Allah, maka yang ada dalam
pikirannya hanya Allah, Allah, Allah dan Allah…. disekelilingnya tidak
tampak manusia lain tapi hanya Allah yang berkehendak, Setiap Kejadian
adalah maksud Allah terhadap Hamba ini…. dan inilah yang dibahayakan
karena apabila tidak ada GURU yang Mursyid yang berpedoman pada AlQuran
dan Hadits maka hamba ini akan keluar dari semua aturan yang telah
ditetapkan Allah untuk manusia.Karena hamba ini akan gampang terpengaruh
syaitan, semakin tinggi tingkat keimanannya maka semakin tinggi juga
Syaitan menjerumuskannya.Seperti contohnya Lia Eden dll… mereka adalah
hamba yang ingin dekat dengan Allah tanpa pembimbing yang telah melewati
masa ini, karena apabila telah melewati masa ini maka hamba tersebut
harus turun agar bisa mengajarkan yang HAK kepada manusia lain seperti
juga Rasullah pun telah melewati masa ini dan apabila manusia tidak mau
turun tingkatan maka hamba ini akan menjadi seprti nabi Isa AS.Maka Nabi
ISA diangkat Allah beserta jasadnya. Seperti juga Syekh Siti Jenar yang
kematiannya menjadi kontroversi.Dalam masyarakat jawa kematian ini
disebut “MUKSO” ruh beserta jasadnya diangkat Allah.
d. Hamamayu Hayuning Bawana
Prinsip ini berarti memakmurkan bumi. Ini mirip dengan pesan utama
Islam, yaitu rahmatan lil alamin. Seorang dianggap muslim, salah satunya
apabila dia bisa memberikan manfaat bagi lingkungannya dan bukannya
menciptakan kerusakan di bumi.
e. Kontroversi
Kontroversi yang lebih hebat terjadi di sekitar kematian Syekh Siti
Jenar. Ajarannya yang amat kontroversial itu telah membuat gelisah para
pejabat kerajaan Demak Bintoro. Di sisi kekuasaan, Kerajaan Demak
khawatir ajaran ini akan berujung pada pemberontakan mengingat salah
satu murid Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging atau Ki
Kebokenanga adalah keturunan elite Majapahit (sama seperti Raden Patah)
dan mengakibatkan konflik di antara keduanya.
Dari sisi agama Islam, Walisongo yang menopang kekuasaan Demak
Bintoro, khawatir ajaran ini akan terus berkembang sehingga menyebarkan
kesesatan di kalangan umat. Kegelisahan ini membuat mereka merencanakan
satu tindakan bagi Syekh Siti Jenar yaitu harus segera menghadap Demak
Bintoro. Pengiriman utusan Syekh Dumbo dan Pangeran Bayat ternyata tak
cukup untuk dapat membuat Siti Jenar memenuhi panggilan Sri Narendra
Raja Demak Bintoro untuk menghadap ke Kerajaan Demak. Hingga konon
akhirnya para Walisongo sendiri yang akhirnya datang ke Desa Krendhasawa
di mana perguruan Siti Jenar berada.[rujukan?]
Para Wali dan pihak kerajaan sepakat untuk menjatuhkan hukuman mati
bagi Syekh Siti Jenar dengan tuduhan telah membangkang kepada raja. Maka
berangkatlah lima wali yang diusulkan oleh Syekh Maulana Maghribi ke
Desa Krendhasawa. Kelima wali itu adalah Sunan Bonang, Sunan Kalijaga,
Pangeran Modang, Sunan Kudus, dan Sunan Geseng.
Sesampainya di sana, terjadi perdebatan dan adu ilmu antara kelima wali tersebut dengan Siti Jenar.
Menurut Siti Jenar, kelima wali tersebut tidak usah repot-repot ingin
membunuh Siti Jenar. Karena beliau dapat meminum tirtamarta (air
kehidupan) sendiri. Ia dapat menjelang kehidupan yang hakiki jika memang
ia dan budinya menghendaki.
Tak lama, terbujurlah jenazah Siti Jenar di hadapan kelima wali.
Ketika hal ini diketahui oleh murid-muridnya, serentak keempat muridnya
yang benar-benar pandai yaitu Ki Bisono, Ki Donoboyo, Ki Chantulo dan Ki
Pringgoboyo pun mengakhiri “kematian”-nya dengan cara yang misterius
seperti yang dilakukan oleh gurunya di hadapan para wali.
f. Kisah pada saat pasca kematian
Terdapat kisah yang menyebutkan bahwa ketika jenazah Siti Jenar
disemayamkan di Masjid Demak, menjelang salat Isya, semerbak beribu
bunga dan cahaya kilau kemilau memancar dari jenazah Siti Jenar.
Jenazah Siti Jenar sendiri dikuburkan di bawah
Masjid Demak oleh para wali. Pendapat lain mengatakan, ia dimakamkan di
Masjid Mantingan, Jepara, dengan nama lain.
Setelah tersiar kabar kematian Syekh Siti Jenar,
banyak muridnya yang mengikuti jejak gurunya untuk menuju kehidupan yang
hakiki. Di antaranya yang terceritakan adalah Kiai Lonthang dari
Semarang Ki Kebokenanga dan Ki Ageng Tingkir.
http://atifhidayat.wordpress.com/2009/03/10/syekh-siti-jenar/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar